skip to main | skip to sidebar

♥ Tentang Kami ♥

Foto saya
Keluarga Kecil Hidayat
Cerita ini untuk anak-anakku tersayang, cerita tentang masa-masa emas waktu kecil, supaya mereka selalu ingat kalau Bunda dan Ayah selalu sayang mas Arka, Iyai Argi dan adek Arza..♥
Lihat profil lengkapku

♥ Tamu Kami ♥

♥ Translate ♥

♥ Daftar Isi ♥

  • ►  2013 (2)
    • ►  Juni (2)
  • ►  2012 (10)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Maret (6)
  • ►  2011 (26)
    • ►  Desember (1)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (7)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (11)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2010 (60)
    • ►  Desember (10)
    • ►  November (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (7)
    • ►  Juni (7)
    • ►  Mei (9)
    • ►  April (6)
    • ►  Maret (11)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2009 (35)
    • ►  Desember (8)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (4)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (5)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (5)
  • ▼  2008 (57)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (4)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (10)
    • ▼  Juli (17)
      • Hari Pertama TK-A
      • Tumis Kangkung
      • Rujak Serut ala Bunda
      • Suka Gigit
      • Jakarta oh Jakarta
      • Pangeran Zuko
      • Bebek Goreng Kaleyo
      • 3 Biang Rusuh
      • Gransazer
      • Wanita
      • Cara Membuat NPWP Pribadi
      • Kursi Nakal
      • 7 Mitos tentang Anak manja
      • Pelajaran dari Kung Fu Panda
      • Spam Email
      • Tattoo
      • Chart anak baik
    • ►  Juni (5)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (6)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2007 (20)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (2)
    • ►  April (1)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (7)
  • ►  2006 (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  April (1)
  • ►  2005 (1)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2004 (4)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (1)
    • ►  Juni (2)

♥ Cerita Kami ♥

  • Arkagi (78)
  • Arkagiza (8)
  • Artikel (29)
  • Ayah Euro Trip (7)
  • Cerita Bunda (17)
  • Dapur Bunda (16)
  • Haji 2010 (8)
  • Hidayat's Family (26)
  • Liburan 2011 (4)
  • Raisba Rahman (2)
  • Risiniti Hasbullah (6)
  • Ulasan Bunda (14)

Cerita untuk Taratugang

Rabu, 23 Juli 2008

Jakarta oh Jakarta


Artikel ini didapat dari milis Dunia Ibu. Tentang wajah Jakarta yang digambarkan seorang penulis dan jurnalis amerika -Andre Vltchek.. Meski mungkin beberapa data statistik kurang tepat, tapi cukup lugas dan cukup memberi informasi buat kita melihat Potret Jakarta yang sesungguhnya (miris banget euyy) ..

By the way, tulisan ini sudah di-copy di beberapa blog... (jadi Bunda ikutan copy juga)

Jakarta: In Need of Improvements
by : Andre VitchekWorldpress.org
contributing editor July 26, 2007
Versi Indonesianya (dibawah ada versi aslinya)


Pada saat ini, gedung pencakar langit, jalanan macet dipadati oleh ratusan ribu kendaraan, dan mal-mal raksasa telah menjadi pusat kebudayaan Jakarta , yang notabene merupakan kota terbesar ke-4 di dunia.Terjepit diantara gedung tinggi, terhampar perkampungan dimana bermukim sebagian besar penduduk Jakarta yang tidak memiliki akses sanitasi dasar,air bersih atau pengelolaan limbah. Disaat hampir semua kota-kota utama lain di Asia Tenggara menginvestasikan dana besar-besaran untuk transportasi publik, taman kota,taman bermain, trotoar besar, dan lembaga kebudayaan seperti museum, gedungkonser, dan pusat pameran, Jakarta tumbuh secara BRUTAL dengan berpihak hanya pada PEMILIK MODAL dan TIDAK PEDULI akan nasib mayoritas penduduknya yang MISKIN.


Kebanyakan penduduk Jakarta belum pernah pergi ke luar negeri,sehingga mereka tidak dapat membandingkan kota Jakarta dengan KualaLumpur atau Singapura, Hanoi atau Bangkok . Liputan dan statistik pembanding juga jarang ditampilkan oleh media massa setempat. Meskipun bagi para wisatawan asing Jakarta merupakan NERAKA DUNIA, media massa setempat menggambarkan Jakarta sebagai kota "modern", "kosmopolitan" ,dan "metropolis" . Para pendatang atau wisatawan seringkali terheran-heran dengan kondisi Jakarta yang tidak memiliki taman rekreasi publik. Bangkok, yang tidak dikenal sebagai kota yang ramah publik, masih memiliki beberapa taman yang menawan. Bahkan, Port Moresby, ibukota Papua Nugini, yang miskin,terkenal akan taman bermain yang besar, pantai dan jalan setapak dipinggir laut yang indah. Tapi di Jakarta kita perlu biaya untuk segala sesuatu. Banyak lahan hijau diubah menjadi lapangan golf demi kepentingan orang kaya. Kawasan Monas seluas kurang lebih 1 km persegi bisa jadi merupakan satu-satunya kawasan publik di kota berpenduduk lebih dari 10 juta orang ini. Meskipun menyandang predikat kota maritim, Jakarta telah terpisah dari laut dengan Ancol menjadi satu-satunya lokasi rekreasi yang sebenarnya hanya berupa pantai kotor. Bahkan kalau mau jalan-jalan ke Ancol, satu keluarga dengan 4 orang anggota keluarga harus mengeluarkan uang Rp 40.000 untuk tiket masuk,satu hal yang tak masuk akal di belahan lain dunia.


Beberapa taman publik kecilpun kondisinya menyedihkan dan tidak aman. Sama sekali tidak ditemui tempat pejalan kaki di seluruh penjuru kota(tempat pejalan kaki yang dimaksud adalah sesuai dengan standar"internasional" ). Nyaris seluruh kota-kota di dunia (kecuali beberapakota di AS, seperti Houston dan LA) ramah terhadap pejalan kaki. Mobil seringkali tidak diperkenankan berkeliaran di pusat kota . Trotoar yang lebar merupakan sarana tr ansportasi publik jarak pendek yang paling efisien, sehat, dan ramah lingkungan di daerah yang padat penduduk. Di Jakarta, nyaris tidak dijumpai bangku untuk duduk dan rileks, tidak ada keran air minum gratis atau toilet umum. Ini memang remeh, tapi sangat penting, merupakan suatu detil yang menjadi simbol kehidupan perkotaan di bagian lain dunia. Sebagian besar kota-kota dunia, ingin dikunjungi dan dikenang akan kebudayaannya. Singapura sedang berupaya mengubah citra kota belanjanya menjadi jantung kesenian Asia Tenggara. Esplanade Theatre yang monumental telah mengubah wajah kota Singapura, dimana ia menawarkan konser musik klasik, balet, dan opera internasional kelas satu, disamping pertunjukan artis kontemporer kawasan. Banyak pertunjukan yang disubsidi dan seringkali gratis atau murah, bila dibandingkan dengan pendapatan warga kota yang relatif tinggi. Kuala Lumpur menghabiskan $100 juta untuk membangun balai konser Philharmonic yang terletak persis dibawah Petronas Tower , salah satu gedung tertinggi di dunia. Balai konser prestisius dan impresifini mempertunjukkan grup orkestra lokal dan internasional. KualaLumpur juga sedang menginvestasikan beberapa juta dolar untuk memugar museum dan galeri, dari Museum Nasional hingga Galeri Seni Nasional. Hanoi bangga akan budaya dan seninya, yang dipromosikan guna menarik jutaan turis untuk mengunjungi galeri-galeri lukisan yang tak terhitung jumlahnya, dimana lukisan tersebut merupakan salah satu yangterbaik di Asia Tenggara. Gedung Operanya yang dipugar secara reguler mempertunjukkan pagelaran musik Asia dan Barat. Candi-candi dan istana kolosal di Bangkok eksis berdampingan dengan teater dan festival film internasional, klub jazz yang tak terhitungjumlahnya, dan juga pilihan kuliner otentik dari segala penjuru dunia.Kalau bicara musik dan kehidupan malam, tak ada kota di Asia Tenggara yang semeriah Manila .


Nah, sekarang balik ke Jakarta . Siapapun yang bernah berkunjung ke"perpustakaan umum" atau gedung Arsip Nasional pasti tahu bedanya. Tak heran, dalam pendidikan Indonesia, budaya dan seni tidak dianggap"menguntungkan" (kecuali musik pop), sehingga menjadi tidak relevan.Indonesia merupakan negara dengan ANGGARAN PENDIDIKAN TERENDAH nomor 3 didunia - (menurut The Economist, hanya 1,2% dari PDB) setelah Guyana Khatulistiwa dan Ekuador (di kedua negaratersebut keadaan sekarang berkembang cepat berkat pemerintahan baruyang progresif). Museum di Jakarta berada dalam kondisi memprihatinkan, sama sekali tidak menawarkan eksibisi internasional. Museum tersebut terlihat seperti berasal dari zaman baheula dan tak heran kalau Belanda yang membangun kesemuanya. Tidak hanya koleksinya yang tak terawat, tapi juga ketiadaan unsur-unsur modern seperti kafe, toko cinderamata, tokobuku atau perpustakaan publik. Kelihatannya manajemen museum tidak punya visi atau kreativitas. Bahkan, meskipun mereka punya visi atau kreativitas, pasti akan terkendala dengan ketiadaan dana.


Sepertinya Jakarta tidak punya perencana kota, hanya ada pengembang swasta yang tidak punya respek atau kepedulian akan mayoritas penduduk yang miskin (mayoritas besar, tak peduli apa yang dikatakan oleh data statistik yang seringkali DIMANIPULIR pemerintah). Kota Jakarta praktis menyerahkan dirinya ke sektor swasta, yang kini nyaris mengendalikan semua hal, mulai dari perumahan hingga ke area publik. Sedangkan beberapa dekade yang lalu di Singapura, dan baru-baru ini di Kualalumpur, mereka berhasil menghilangkan total perkampungan kumuh dari wilayah kota, namun Jakarta tidak mampu atau tidak mau memberikan warganya perumahan bersubsidi dengan harga terjangkau yang dilengkapi dengan air ledeng, listrik, sistem pembuangan limbah, taman bermain,trotoar dan sistem transportasi massal. Selain Singapura, Kualalumpur dengan berpenduduk hanya 2 juta jiwa memiliki satu jalur Metro (Putra Line), satu monorail, beberapa jalur LRT Star yang efisien, dan jaringan kereta api kecepatan tinggi yang menghubungkan kota dengan ibu kota baru Putra jaya. Sistem"RApid" memiliki ratusan bus modern, bersih, dan ber-AC. Tarifnya disubsidi, tiket bus Rapid hanya sekitar 2 Ringgit (kurang lebih Rp 4600) untuk penggunaan tak terbatas sepanjang hari di jalur yang sama.Tiket abonemen bulanan dan harian yang sangat murah juga tersedia. Bangkok menunjuk kontraktor Siemens dari Jerman untuk membangun 2 jalur panjang "Sky Train" dan satu jalur metro. Bangkok juga memanfaatkan sungai dan kanal sebagai transportasi publik dan objek wisata. Pemerintahan kota Bangkok juga mengklaim bahwa mereka sedang membangun jalur tambahan sepanjang 80 km untuk sistem tersebut guna meyakinkan penduduk untuk meninggalkan mobil mereka di rumah dan memanfaatkan transportasi umum. Bus-bus kuno yang berpolusi sudah sepenuhnya dilarang beroperasi di Hanoi , Singapura, Kualalumpur, dan Bangkok .


Jakarta ? Berkat korupsi dan pejabat pemerintahan yang tak kompeten, Jakarta tenggelam dalam kondisi yang berkebalikan dengan kota-kota tersebut. Mercer Human Resource Consulting, dalam laporannya tentang kualitas hidup, menempatkan Jakarta di posisi setara dengan kota-kota miskin di Afrika dan Asia Selatan, bahkan dibawah kota Nairobi dan Medellin. Walaupun Jakarta menjadi salah satu ibukota terburuk di dunia, hidup disana tidaklah murah.Menurut Survey Mercer Human Resource Consultingtahun 2006, Jakarta menduduki peringkat 48 kota termahal di dunia untuk ekspatriat, jauh diatas Berlin (peringkat 72), Melbourne (74)dan Washington DC (83). Nah, kalau untuk ekspatriat saja mahal,apalagi buat penduduk lokal yang pendapatan perkapita DIBAWAH $1000?? Anehnya, orang Jakarta diam seribu bahasa. Mereka pasrah akan kualitas udara yang jelek, terbiasa dengan pemandangan pengemis di perempatan jalan, dengan kampung kumuh di bawah jalan layang dan di pinggir sungai yang kotor dan penuh limbah beracun, dengan kemacetan berjam-jam, dengan banjir dan tikus.


Kalau saja ada sedikit harapan, kebenaran pasti akan terucap, dan semakin cepat semakin baik. Hanya diagnosis kejam dan realistis yang bisa mengarah pada obat. Betapapun pahitnya kebenaran, tetap saja lebih baik ketimbang dusta dan penipuan. Jakarta telah tertinggal jauh dibelakang ibukota lain negara tetangga dalam hal estetika, pemukiman,kebudayaan, transportasi, dan kualitas dan higiene makanan. Sekarang Jakarta telah kehilangan kebanggaan dan mesti belajar dari Kualalumpur, Singapura, Brisbane, dan bahkan dalam beberapa hal dari tetangganya yang lebih miskin seperti Port Moresby, Manila, dan Hanoi. Data statistik harus transparan dan tersedia luas. Warga harus belajar bertanya dan bagaimana untuk memperoleh jawaban dana kuntabilitas. Hanya kalau mereka memahami seberapa dalamnya kota mereka telah terperosok, maka barulah ada harapan. "Kita harus berhati-hati" kata produser film Malaysia dalam perayaan tahun baru diKualalumpur. " Malaysia punya banyak masalah. Kalau kita tidakhati-hati, dalam 20-30 tahun Kualalumpur akan bernasib sama seperti Jakarta !


Dapatkah pernyataan ini dibalik? Mampukah Jakarta menemukan kekuatan dan solidaritas untuk mobilisasi sehingga dapat menyaingi Kualalumpur? Mampukah kecukupan mengatasi keserakahan? Dapatkah korupsi diberantas dan diganti dengan kreatifitas? Akankah ukuran vila pribadi mengecil, dan kawasan hijau, perumahan publik, taman bermain, perpustakaan,sekolah dan rumah sakit berkembang pesat?


Sedihkan bacanya??

Nah, ini tulisan aslinya :


Today, high-rises dot the skyline, hundreds of thousands of vehiclesbelch fumes on congested traffic arteries and super-malls have become thecultural centers of gravity in Jakarta , the fourth largest city in theworld. In between towering super-structures, humble kampongs house themajority of the city dwellers, who often have no access to basic sanitation,running water or waste management.While almost all major capitals in the Southeast Asian region areinvesting heavily in public transportation, parks, playgrounds,sidewalks and cultural institutions like museums, concert halls andconvention centers, Jakarta remains brutally and determinately'pro-market' profit-driven and openly indifferent to the plight of amajority of its citizens who are poor. Most Jakartans have never left Indonesia , so they cannot comparetheir capital with Kuala Lumpur or Singapore ; with Hanoi or Bangkok .Comparative statistics and reports hardly make it into the localmedia. Despite the fact that the Indonesian capital is for manyforeign visitors a 'hell on earth,' the local media describes Jakartaas "modern," "cosmopolitan, " and "a sprawling metropolis . Newcomers are often puzzled by Jakarta 's lack of public amenities.Bangkok , not exactly known as a user-friendly city, still has severalbeautiful parks. Even cash-strapped Port Moresby , capital of PapuaNew Guinea , boasts wide promenades, playgrounds, long stretches ofbeach and sea walks. Singapore and Kuala Lumpur compete with eachother in building wide sidewalks, green areas as well as culturalestablishments. Manila , another city without a glowing reputation forits public amenities, has succeeded in constructing an impressive seapromenade dotted with countless cafes and entertainment venues whilepreserving its World Heri tage Site at In tramuros. Hanoi repaved itswide sidewalks and turned a park around Huan-Kiem Lake into anopen-air sculpture museum. But in Jakarta , there is a fee for everything. Many green spaces havebeen converted to golf courses for the exclusive use of the rich. Theapproximately one square kilometer of Monas seems to be the only realpublic area in a city of more than 10 million. Despite being amaritime city, Jakarta has been separated from the sea, with the onlyfocal point being Ancol, with a tiny, mostly decrepit walkway alongthe dirty beach dotted with private businesses .Even to take a walk in Ancol, a family of four has to spendapproximately $4.50 (40,000 Indonesian Rupiahs) in entrance fees,something unthinkable anywhere else in the world. The few tiny publicparks which survived privatization are in desperate condition andmostly unsafe to use. There are no sidewalks in the entire city, if one appliesinternational standards to the word "sidewalk." Almost anywhere in theworld (with the striking exception of some cities in the United State,like Houston and Los Angeles ) the cities themselves belong topedestrians. Cars are increasingly discouraged from travelling in thecity centres. Wide sidewalks are understood to be the most ecological,healthy and efficient forms of short-distance public transportation inareas with high concentrations of people.In Jakarta , there are hardly any benches for people to sit and relax,and no free drinking water fountains or public toilets. It is thesesmall, but important, 'details' that are symbols of urban lifeanywhere else in the world. Most world cities, including those in the region, want to be visitedand remembered for their culture. Singapore is managing to change its'shop-till-you- drop' image to that of the centre of Southeast Asianarts. The monumental Esplanade Theatre has reshaped the skyline,offering first-rate international concerts in classical music, opera,ballet, and also featuring performances from some of the leadingcontemporary artists from the region. Many performances are subsidizedand are either free or cheap, relative to the high incomes in thecity-state.Kuala Lumpur spent $100 million on its philharmonic concert hall, whichis located right under the Petronas Towers , among the tallestbuildings in the world. This impressive and prestigious concert hallhosts local orches tr a companies as well top internationalperfor mers.The city is currently spending further millions to refurbish itsmuseums and galleries, from the National Museum to the National ArtGallery . Hanoiis proud of its culture and arts, which are promoted as its majorat tr action millions of visitors flock into the city to visitcountless galleries stocked with canvases, which can be easilydescribed as some of the best in Southeast Asia . Its beautifullyrestored Opera House regularly offers Western and Asian music treats.Bangkok's colossal temples and palaces coexist with ex tr emelycosmopolitan fare international theater and film festivals, countlessperformances, jazz clubs with local and foreign artists on the bill,as well as authentic culinary delights from all corners of the world.When it comes to music, live performances and nightlife, there is nocity in Southeast Asia as vibrant as Manila .Now back to Jakarta . Those who have ever visited the city's 'publiclibraries' or National Archives building will know the difference. Nowonder; in Indonesia education, culture and arts are not considered tobe 'profitable' (with the exception of pop music), and are thereforemade absolutely irrelevant. The country spends the third lowest amountin the world on education (according to The Economist, only1.2 percentof its GDP) after Equatorial Guinea and Ecuador (there the situationis now rapidly improving with the new progressive government).Museums in Jakarta are in appalling condition, offering absolutely noimportant international exhibitions. They look like they fell on thecity from a different era and no wonder the Dutch built almost all ofthem. Not only are their collections poorly kept, but they lackelements of modernity there are no elegant cafes, museum shops,bookstores or even public archives. It appears that the individualsrunning them are without vision and creativity. However, even if theydid have inspired ideas, there would be no funding to carry them out.It seems that Jakarta has no city planners, only private developersthat have no respect for the majority of its inhabitants who are poor(the great majority, no matter what the understated and manipulatedgovernment statistics say). The city abandoned itself to the privatesector, which now controls almost everything, from residential housingto what were once public areas.While Singapore decades ago, and Kuala Lumpur recently, managed tofully eradicate poor, unsanitary and depressing kampongs from theirurban areas, Jakarta is unable or unwilling to offer its citizenssubsidized, affordable housing equipped with running water,electricity, a sewage system, wastewater tr eatment facilities,playgrounds, parks, sidewalks and a mass public transportation system.Rich Singapore aside, Kuala Lumpur with only 2 million inhabitantsboasts one metroline (Putra Line), one monorail, several efficientStar LRT lines, suburban tr ain links and high-speed rail systemconnecting the city with its new capital Putrajaya. The "Rapid" systemcounts on hundreds of modern, clean and air-conditioned buses. Transitis subsidized; a bus ticket on "Rapid" costs only $.60 (2 MalaysianRinggits) for unlimited day use on the same line. Heavily discounteddaily and monthly passes are also available.Bangkok contracted German firm Siemens to build two long "Sky Train"lines and one me tr o line. It is also utilizing its river andchannels as both public transportation and as a tourist attraction.Despite this enormous progress, the Bangkok city administration claimsthat it is building an additional 50 miles (80 kilometers) of tracksfor these systems in order to convince citizens to leave their cars athome and use public transportation. Polluting pre-historic buses arebeing banned from Hanoi , Singapore , Kuala Lumpur and gradually fromBangkok . Jakarta , thanks to corruption and phlegmatic officials, isin its own league even in this field.Mercer Human Resource Consulting, in its reports covering quality oflife, places Jakarta repeatedly on the level of poor African and SouthAsian cities, below metropolises like Nairobi and Medellin .Considering that it is in the league with some of the poorest capitalsof the world, Jakarta is not cheap. According to the Mercer HumanResource Consulting 2006 Survey, Jakarta ranked as the 48th mostexpensive city in the world for expatriate employees, well aboveBerlin (72nd), Melbourne (74th) and Washington D.C. (83rd). And if itis expensive for expa tr iates, how is it for local people with a GDPper capita below $1,000?Curiously, Jakartans are silent. They have become inured to appallingair quality just as they have gotten used to the sight of childrenbegging, even selling themselves at the major intersections; to entirecommunities living under elevated highways and in slums on the shoresof canals turned into toxic waste dumps; to the hours-long commutes;to floods and rats.But if there is to be any hope, the truth has to eventually be told,and the sooner the better. Only a realistic and brutal diagnosis canlead to treatment and a cure. As painful as the truth can be, it isalways better than self-deceptions and lies. Jakarta has fallendecades behind capitals in the neighbouring countries in aesthetics,housing, urban planning, standard of living, quality of life, health,education, culture, transportation, food quality and hygiene. It hasto swallow its pride and learn from Kuala Lumpur , Singapore ,Brisbane and even in some instances from its poorer neighbours likePort Moresby , Manila and Hanoi .Comparative statistics have to be transparent and widely available.Citizens have to learn how to ask questions again, and how to demandanswers and accountability. Only if they understand to what depthstheir city has sunk can there be any hope of change. "We have to watchout," said a concerned Malaysian filmmaker during New Year's Evecelebrations in Kuala Lumpur . " Malaysia suddenly has too manyproblems. If we are not careful, Kuala Lumpur could end up in 20 or 30years like Jakarta !"Could this statement be reversed? Can Jakarta find the strength andsolidarity to mobilize in time catch up with Kuala Lumpur ? Candecency overcome greed? Can corruption be eradicated and replaced bycreativity? Can private villas shrink in size and green spaces, publichousing, playgrounds, libraries, schools and hospitals expand?


An outsider like me can observe, tell the story and ask questions.

Diposting oleh Keluarga Kecil Hidayat di 16.33
Label: Artikel

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan: Posting Komentar (Atom)
Diberdayakan oleh Blogger.

♥ me on facebook ♥

Daisypath Friendship tickers

Blog Design by Gisele Jaquenod

Work under CC License

Creative Commons License