Oleh : A. Fuadi
Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup akan terasa setelah lelah berjuang
Aku melihat air yang menjadi rusak karena diam tertahan,
jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, keruh menggenang
Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa
Anak panah jika tidak tinggalkan busur tidak akan kena sasaran
Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam
Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang
Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang
Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan..
Imam Syafi’i==================================================
Itu adalah kutipan prolog sajak dari pujangga islam yang terkenal, Imam Syafi’I yang menjadi prolog novel Negeri 5 Menara ini. Menurut Bunda novel ini banyak mengandung pesan moral. Ceritanya tentang seorang pemuda bernama Alif Fikri yang baru lulus Tsanawiyah (sekolah agama islam setingkat SMP) di Maninjau, Sumatera Barat. Dia bercita-cita untuk melanjutkan sekolah ke SMA dan masuk ke perguruan tinggi, ia tidak mau melanjutkan sekolah agama lagi. Namun, Amak, Bunda-nya Alif, tidak sependapat dengan keinginan Alif ini. Terjadilah perang batin di diri Alif, antara mau mengikuti keinginannya masuk SMA hingga perguruan tinggi atau dengan mengikuti keinginan Amaknya.
Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup akan terasa setelah lelah berjuang
Aku melihat air yang menjadi rusak karena diam tertahan,
jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, keruh menggenang
Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa
Anak panah jika tidak tinggalkan busur tidak akan kena sasaran
Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam
Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang
Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang
Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan..
Imam Syafi’i==================================================
Itu adalah kutipan prolog sajak dari pujangga islam yang terkenal, Imam Syafi’I yang menjadi prolog novel Negeri 5 Menara ini. Menurut Bunda novel ini banyak mengandung pesan moral. Ceritanya tentang seorang pemuda bernama Alif Fikri yang baru lulus Tsanawiyah (sekolah agama islam setingkat SMP) di Maninjau, Sumatera Barat. Dia bercita-cita untuk melanjutkan sekolah ke SMA dan masuk ke perguruan tinggi, ia tidak mau melanjutkan sekolah agama lagi. Namun, Amak, Bunda-nya Alif, tidak sependapat dengan keinginan Alif ini. Terjadilah perang batin di diri Alif, antara mau mengikuti keinginannya masuk SMA hingga perguruan tinggi atau dengan mengikuti keinginan Amaknya.
Akhirnya Alif mengalah, terpaksa ia mengikuti keinginan Amaknya untuk melanjutkan sekolah agama lagi, namun kali ini bukan di Sumatera Barat, melainkan di sebuah pondok pesantren di Jawa Timur, Pondok Madani – PM, namanya (berasosiasi pada pondok pesantren Gontor). Pada awal mengikuti kegiatan dan sistem pengajaran di Pondok Madani, Alif merasa setengah hati. Ia merasa bukan tempatnya berada disitu, bahkan terkadang ia iri dengan temannya yang bersekolah di SMA. Namun seiring berjalannya waktu, rasa itu mulai pudar, dia mulai mengikuti sistem pengajaran yang sarat akan ilmu, aturan, dan pandangan mengenai kehidupan.
Pertama masuk, murid baru dikumpulkan di sebuah Aula, dan seorang Ustad bernama Ustad Salman berteriak lantang di depan “Man Jadda Wajada” – Siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil. Semboyan ini juga yang ternyata menjadi inti dari novel ini.
Alif menemukan 5 sahabat dari berbagai wilayah di Indonesia, sebut saja Atang dari Bandung, Said dari Surabaya, Baso dari Gowa ; Sulawesi, Raja dari Medan, dan Dulmajid dari Madura. Dari latar belakang yang berbeda ini akhirnya ke enam orang ini menjadi sahabat baik, sangat baik bahkan. Keenam sahabat ini setiap sorenya, antara waktu istirahat sore dan adzan maghrib sering menghabiskan waktu memandang matahari tenggelam di bawah menara masjid besar yang dimiliki Pondok Madani. Untuk itulah mereka dijuluki sebagai Sahibul Menara – Pemilik Menara.
Alif menemukan 5 sahabat dari berbagai wilayah di Indonesia, sebut saja Atang dari Bandung, Said dari Surabaya, Baso dari Gowa ; Sulawesi, Raja dari Medan, dan Dulmajid dari Madura. Dari latar belakang yang berbeda ini akhirnya ke enam orang ini menjadi sahabat baik, sangat baik bahkan. Keenam sahabat ini setiap sorenya, antara waktu istirahat sore dan adzan maghrib sering menghabiskan waktu memandang matahari tenggelam di bawah menara masjid besar yang dimiliki Pondok Madani. Untuk itulah mereka dijuluki sebagai Sahibul Menara – Pemilik Menara.
Dibawah bayang-bayang menara, mereka berenam sering berbicara mengenai impian mereka masing-masing. Seperti Alif yang punya mimpi untuk menjejakkan kaki di negeri Colombus, Amerika yang penuh dengan hal-hal hebat. Raja yang terobsesi dengan daratan Eropa, terutama negeri Inggris. Atang dan Baso yang berangan-angan dengan Timur Tengah dan Afrika, terutama Mesir, negeri nabi Musa a.s. Sedangkan Said dan Dulmajid yang bercita-cita memajukan bangsanya sendiri dengan berkarya di dalam negeri sendiri.
Novel ini, selain berisikan tentang pencapaian sebuah impian, juga berisikan sangat banyak pesan moral dan pandangan tentang kehidupan dari kacamata islam, namun bukan islam yang skeptis, namun islam yang berlandaskan pada Al-Quran. Pesan-pesan moral yang dikandung dalam novel ini kebanyakan dikemas dalam aktivitas sehari-hari yang dialami Alif hingga dia lulus dari Pondok Madani ^^
Novel ini juga bercerita tentang bagaimana sebuah hal kecil dapat membuat sesuatu yang besar, kedisiplinan. Tidak ada yang pandang bulu mengenai peraturan. Peraturan itu ada, dilaksanakan dan yang melanggar harus ditindak, tidak pandang bulu. Seperti Bunda selalu bilang, peraturan itu ada memang untuk diikuti dan supaya segala sesuatunya teratur.
Banyak pesan moral yang dikandung dalam novel ini yang bisa menjadi bahan pemikiran kita dalam hidup. Masih ada bagian yang membahas mengenai keikhlasan, kerja-keras, setia kawan, dan masih banyak lagi. Ternyata kehidupan di pondok pesantren tidak sebegitu kaku, mengerikan, dan ketinggalan zaman seperti pandangan orang kebanyakan. Ternyata sistem pengajaran di pesantren menuntut para santrinya untuk selalu aware dan displin. Lihat saja Pondok Madani ini yang tidak membolehkan bahasa Indonesia menjadi bahasa sehari-harinya. Bahasa sehari-hari yang digunakan adalah bahasa Inggris dan bahasa Arab.
Banyak pesan moral yang dikandung dalam novel ini yang bisa menjadi bahan pemikiran kita dalam hidup. Masih ada bagian yang membahas mengenai keikhlasan, kerja-keras, setia kawan, dan masih banyak lagi. Ternyata kehidupan di pondok pesantren tidak sebegitu kaku, mengerikan, dan ketinggalan zaman seperti pandangan orang kebanyakan. Ternyata sistem pengajaran di pesantren menuntut para santrinya untuk selalu aware dan displin. Lihat saja Pondok Madani ini yang tidak membolehkan bahasa Indonesia menjadi bahasa sehari-harinya. Bahasa sehari-hari yang digunakan adalah bahasa Inggris dan bahasa Arab.
Akhir tulisan, Bunda beli buku ini supaya anak-anak Bunda bisa membacanya dan mengambil petikan manfaat dari buku ini. Amin.